Penulis: Eko Supriatno/Pengamat Kebijakan Publik, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Hukum dan Sosial UNMA Banten
Satubanten.com- Ditengah semakin banyaknya gedung dan bangunan di Pandeglang, keberadaan Gedung Balai Budaya Pandeglang kian tersisihkan. Belum lagi, gedung dan bangunan bersejarah itu harus bergelut dengan sejumlah problematika terkait ketidakjelasan statusnya.
Sejatinya, Pandeglang menyimpan nilai-nilai sejarah dan kearifan lokal yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai wisata sejarah.
Gedung Balai Budaya Pandeglang dahulunya merupakan Bangunan Pendopo Kewedanaan Pandeglang yang diperkirakan dibangun pada tahun 1848.
Secara administrasi Gedung Balai Budaya Pandeglang berada di Jalan KH. Abdul Halim No 2, Kelurahan Pandeglang, Kecamatan Pandeglang, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
Bangunan Balai Budaya yang dahulunya merupakan bangunan Pendopo Kewedanaan Pandeglang merupakan bangunan kolonial yang diperkirakan dibangun sekitar tahun 1847/1848. Awal pembangunan bangunan ini dapat dikaitkan dengan adanya Regeerings-Reglement (RR) 1854.
Berdasarkan undang-undang ini wilayah Banten dibagi dalam empat kabupaten (afdeling), yaitu: Kabupaten Utara dengan ibukota Serang; Kabupaten Barat dengan ibukota Caringin; Kabupaten Tengah dengan ibukota Pandeglang, dan Kabupaten Selatan dengan ibukota Lebak
Di usianya yang ke-176 tahun, nasib Balai Budaya Pandeglang justru semakin tidak jelas.
Padahal, di gedung sederhana ini, sejak tahun 2000-an, Balai Budaya Pandeglang telah menjadi ruang tempat berkumpul dan berkarya bagi seniman lintas disiplin.
Sebenarnya berbagai aktivitas seni dan budaya dari pameran seni hingga pertunjukan telah berhasil dilaksanakan di Balai Budaya Pandeglang. Hampir ratusan acara seni pernah digelar. Di sinilah cikal bakal pergerakan seni budaya Pandeglang berawal.
Namun, entah karena apa, apakah karena pergantian kebijakan, atau apakah berkenaan dengan kewenangan pengelolaan Balai Budaya terkait restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Pandeglang sempat menjadi kendala yang menghambat aktivitas Balai Budaya sebagai ruang publik dan berkesenian. Karena itu, tidak mengherankan jika sampai sekarang bangunan bersejarah ini kembali ‘sunyi sepi’.
Saat penulis berkunjung pada Selasa (9/6) sore hadir dalam diskusi kebudayaan di Balai Budaya Pandeglang, keadaan Balai Budaya sangat memprihatinkan. Bagian kanan atap teras gedung ini nyaris roboh, atap plafonnya juga nyaris berjatuhan. Jika kondisi ini terus dibiarkan, tak lama lagi bangunan di kawasan sekitaran alun-alun Pandeglang ini akan rata dengan tanah.
Tragis memang, dalam 23 tahun terakhir Balai Budaya Pandeglang sepi acara. Hanya segelintir seniman dan perupa yang masih memanfaatkannya.
Juni 2023 ini, pelukis Gebar Sasmita menggelar pameran tunggal selama beberapa hari di Balai Budaya. Dengan tema “Perjalanan Panjang” yang diselenggarakan oleh teman-teman keren Pandeglang Creative Hub sejak 24 Juni 2023 lalu. Pameran yang berlangsung sampai tanggal 24 Juli ini menghadirkan 50 lukisan karya Gebar Sasmita yang dibuat pada rentang tahun 1984—2023.
Gebar Sasmita sengaja menggelar pameran di sana agar tempat itu kembali dikenal. Pameran seni ini tidak hanya menjadi ajang memamerkan lebih dari 50 karya Gebar Sasmita, tetapi juga menjadi momen re-aktivasi Balai Budaya sebagai ruang kreatif bagi masyarakat.
Menurut penulis, setidaknya ada 3 (Tiga) gagasan dari tulisan “Menghidupkan kembali Balai Budaya Pandeglang” ini:
Pertama, Menghidupkan kembali Balai Budaya Pandeglang. Bagi penulis Balai Budaya ibarat kawah candradimuka bagi para seniman. Di sinilah seniman dan perupa-perupa Pandeglang seharusnya mengawali karier.
Di Balai Budaya pula, aneka macam pergerakan seni budaya seharusnya berawal. Di sinilah sebenarnya ide-ide besar kebudayaan seharusnya dilahirkan. Balai Budaya seharusnya menjadi barometer perjuangan kebudayaan pandeglang. Untuk itu, Balai Budaya harus diurusi, jangan sampai sepi.
Apalagi ditambah Balai Budaya Pandeglang lokasinya sangat strategis, sehingga bisa menjadi tempat pertunjukan yang ideal. Dipakai untuk arena apa saja bagus. Namun, karena sejak awal memang diperuntukkan bagi seni dan budaya, jadi sebaiknya spirit tersebut harus dipertahankan.
Bagi penulis, biarkan saja gedung-gedung baru bermunculan, tetapi yang tua ini harus diperbarui tanpa meninggalkan nilai sejarahnya. Sekarang ini seniman yang masih bertahan di Balai Budaya Pandeglang hanya sekedar kongkow dan ngopi, memang lebih karena faktor nostalgia atau romantisme-nya.
Menghidupkan kembali Balai Budaya Pandeglang adalah bagian dari pemajuan kebudayaan dan pelestarian kesenian dan kebudayaan, yang merupakan salah satu sektor pembangunan Pandeglang yang sangat penting.
Menghidupkan kembali Balai Budaya Pandeglang adalah langkah strategis dan konkrit dari kepemimpinan Ibu Irna Narulita. Pasalnya, kedepan, berbicara pengelolaan pelestarian kebudayaan juga berbicara sesuatu yang universal seperti industri pariwisata, dll.
Kedua, perlunya dibentuk lembaga khusus tentang kebudayaan, semisal dibentuknya Dewan Kebudayaan Pandeglang.
Bagaimana lembaga tersebut ‘mengisnisasi’, menciptakan program unggulan bertaraf nasional seperti Festival Pandeglang, Pandeglang Carnival, Festival Pandeglang, dan sebagainya; dan membuat kalender seni tahunan Pandeglang yang “paten”.
Bagi penulis, Dewan Kebudayaan ini penting dan harus menjadi pilar utama dalam menentukan wajah kesenian dan kebudayaan Pandeglang.
Fungsi Dewan Kebudayaan ini tentunya harus diuji secara matang dan keberadaannya harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat. Termasuk ketika Pandeglang sibuk mencari potensi kesenian dan kebudayaan dalam gelaran setiap Hari Jadi Kabupaten Pandeglang.
Idealnya Dewan Kebudayaan ini jangan berlagak sebagai pelaksana proyek kesenian, melainkan sebagai lembaga strategis yang merancang cetak biru kesenian-kebudayaa Pandeglang.
Dewan Kebudayaan adalah lembaga ahli sebagai mitra konsultatif pemerintah sekaligus promotor dinamika kesenian kebudayaan Pandeglang. Fungsinya adalah mitra kerja pemerintah dalam menyusun strategi, program, pembinaan, dan pengembangan kesenian kebudayaan.
Pada hemat saya, selain sebagai “think-tank” atau lembaga strategis perancang cetak biru kesenian-kebudayaan Pandeglang, dewan kebudayaan juga berfungsi sebagai pusat data dan dokumentasi, serta mitra konsultatif (yang otoritatif) pemerintah. Selain itu, bisa berperan sebagai promotor, dinamisator atau fasilitator praktik kreatif seni Pandeglang.
Ketiga, perlu digagasnya ‘Taman Budaya Rakyat Pandeglang’. Ya, perlu kiranya Pandeglang, menggagas Taman Budaya. Sepengetahuan penulis, di Pandeglang, fasilitas taman budaya dan gedung kesenian tidak (belum) ada. Kebutuhan akan kehadiran sebuah Taman Budaya di sebuah kota menurut penulis adalah sebuah kemestian.
Taman Budaya bukan sekadar sebagai tempat berkumpul dan berkreasinya para seniman dan budayawan saja, tetapi juga wadah untuk melestarikan dan mengembangkan produk seni dan budaya. Bahkan, Taman Budaya diharapkan sebagai “etalase” seni budaya yang ada di Pandeglang.
Penulis membayangkan, Tatkala Taman Budaya itu terwujud, sejatinya ‘taman’ itu nantinya sebagai tempat (terbuka) yang menyenangkan, setiap orang datang ke taman ini bisa jadi bukan sekadar untuk menikmati pertunjukkan seni dan budaya, tetapi bisa juga hanya karena ingin merasakan suasana segar sebuah taman.
Duduk di banyak bangku yang artistik di atas halaman yang bersih, dikelilingi bunga dan aneka tanaman indah, atau sekadar mencicipi penganan yang dijual di kantin-kantin yang tertata. Sementara, telinga dan matanya, nanar menikmati lantunan dan gerakan yang dimainkan oleh para pekerja seni di panggung-panggung sekitarnya.
Sebuah taman yang nyaman bagi setiap warga melepaskan kepenatan dan kerumitan. Walau pihak pemerintah sudah membangun satu dua taman, tapi belum menjadi taman yang sesungguhnya bagi peradaban manusia kota.
Kita memang harus menggagas kembali taman-taman yang ada. Mengembangkan, bahkan membangun kembali taman-taman yang berbudaya. Sebab, membangun kebudayaan bukan sekadar mendirikan sejumlah lambang dan monumen, tetapi lebih kepada membangun karakter. Taman bisa jadi peletup persoalan sosial yang selama ini buntu. Semua orang bisa masuk dan memperoleh manfaat dari rindangnya pepohonan dan sejuknya suasana. Termasuk menikmati/melakukan kegiatan seni dan budaya dengan biaya relatif murah. Banyak manfaatnya.
Bagi penulis, keberadaan ‘Taman Budaya Rakyat Pandeglang’ tersebut akan memberikan peran penting bagi kegiatan dan perkembangan kesenian dan budaya Pandeglang. Pegiat seni tak lagi dipusingkan untuk mencari tempat sebagai penyaluran bakat ataupun kecintaan berkesenian. Hampir seluruh pegiat seni dari komunitas seni, baik besar maupun kecil, memanfaatkan gedung itu untuk kegiatan pertunjukan, pementasan, ataupun sekadar diskusi rutin yang kerap mereka lakukan.
Kita menanti masa keemasan dunia seni di Pandeglang. Masa dimana lahirnya seniman, sastrawan, dan budayawan Pandeglang. Seni Budaya Pandeglang harus mulai menggeliat, bangkit dari keterpurukan. Sudah saatnya penggiat-penggiat seni budaya Pandeglang hebat!!
Mengeksekusi Gagasan
Tentunya Pemkab Pandeglang dalam hal ini Bupati dan juga DPRD kabupaten Pandeglang harusnya sangat menyambut baik dengan gagasan-gagasan: Menghidupkan kembali Balai Budaya Pandeglang, pembentukan Dewan Kebudayaan Pandeglang, dan perlunya digagas ‘Taman Budaya Rakyat Pandeglang’.
Saya pikir pemerintahan Ibu Irna Narulita yang ‘punya kuasa’ untuk mengetuk pintu OPD dibawahnya agar mau lebih atensi dan progresif terutama dalam hal ‘Menghidupkan kembali Balai Budaya Pandeglang’.
Perintahkan OPD dalam hal mengambil alih dan mengelola kembali gedung tersebut tetapi tetap dengan nama dan spirit sebagai Gedung Balai Budaya.
Balai Budaya Pandeglang natinya dapat menjadi ciri dan sangat bisa menjadi pusat pengetahuan bagi generasi muda disekitarnya, ditambah dengan dilaksanakannya berbagai pelatihan-pelatihan kesenian kebudayaan khas Pandeglang.
Balai Budaya Pandeglang dan ‘Taman Budaya Rakyat Pandeglang’ ke depan harus bisa menjadi pusat aktivitas dan tempat berkumpulnya warga.
Khususnya menjadi sentra pembinaan seni dan budaya warga. Ya, sejatinya fasilitas dan infrastruktur warga harus bisa dioptimalkan untuk kegiatan pemberdayaan warga.
Untuk itu kedepan, Muspida terkait agar lebih kreatif membuat kegiatan yang melibatkan warga.
Misalnya, menggelar pelatihan maupun kegiatan pemberdayaan yang dijadwal rutin di balai budaya tersebut.
Lalu membuat pertunjukan “kesenian dan kebudayaan” setiap malam Minggu, atau hadrah dan selawatan setiap malam Jumat.
Jika di balai budaya rutin digelar seperti ini, seniman tentunya tidak perlu repot lagi dalam membangun sanggar-sanggar fisik, karena bisa memanfaatkan ruang-ruang kosong yang ada di balai budaya. Dengan begitu, semangat keguyuban dan gotong royong tetap terjalin kuat.
Balai Budaya Pandeglang dan ‘Taman Budaya Rakyat Pandeglang’ nantinya dipenuhi dengan aktivitas sosial dan budaya warganya, merupakan salah satu indikator Smart City yang ingin dikembangkan Pandeglang.
Semoga niat baik kita bersama dalam hal Menghidupkan kembali Balai Budaya Pandeglang, pembentukan Dewan Kebudayaan Pandeglang, dan Menggagas ‘Taman Budaya Rakyat Pandeglang’, dapat menjadi titik terang bagi terciptanya tata pemerintahan yang lebih baik untuk kesejahteraan masyarakat Pandeglang. (Sbs)
Comments are closed.