Reorientasi Makna Pendidikan

5

 

Oleh: Khairul Ismi, M.Pd. (Kepala SMPIT Al Masykar Bina Insani)

Satubanten.com- Kata pendidikan dalam kosa kata Bahasa Inggris disebut dengan education, sedangkan dalam Bahasa Latin disebut dengan educatum, yang tersusun dari dua kata yaitu e dan duco. Dimana kata e berarti sebuah perkembangan dari dalam ke luar atau dari sedikit ke banyak, sedangkan duco diartikan sebagai sedang berkembang.

Dari hal tersebut, pendidikan secara etimologi kemudian diartikan sebagai sebuah proses mengembangkan kemampuan diri sendiri dan kekuatan individu.  Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia, pendidikan dimaknai sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Lebih lanjut, Undang-undang No. 20 tahun 2003 menguraikan pendidikan sebagai sebuah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Jika dilihat lagi dari uraian di atas, tidak satupun pengertian pendidikan mengandung kata sekolah. Berarti, selama ini boleh jadi ada yang salah dengan paradigma kita tentang pendidikan, termasuk penulis barangkali. Kita selalu mengartikan bahwa pendidikan adalah sekolah. Padahal, Ki hajar Dewantara, yang hari lahirnya diabadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional itu mengisyaratkan sebuah konsep pendidikan kepada kita, bahwa proses pendidikan dimulai dari keluarga, lalu masyarakat, barulah kemudian di perguruan atau yang kita kenal dengan istilah sekolah.

Konsep yang menempatkan keluarga pada posisi pertama proses pendidikan itu kemudian dikenal dengan istilah Tri Sentra Pendidikan. Diakui atau tidak, kini konsep tersebut terkikis dengan paradigma yang memandang bahwa pendidikan tidak lebih dari urusan sekolah. Akibatnya, kita berkutat dengan problematika yang itu-itu saja: kurikulum, fasilitas (sapra) sekolah, ujian akhir (Ebtanas/UAN/UN/US), dan sebagainya. Kita kemudian terjebak dengan konotasi bahwa belajar adalah suatu kegiatan mempelajari mata pelajaran tertentu yang pada gilirannya menganggap bahwa ijazah atau rapot (nilai) adalah tanda bahwa ia pernah mempelajari sesuatu. Tidaklah mengherankan jika kemudian Rocky Gerung mengkritik keras hal ini dengan mengatakan bahwa “Ijazah bukanlah tanda seorang pernah belajar, melainkan tanda seorang pernah sekolah”.

Menempatkan posisi keluarga sebagai urutan pertama dalam proses pendidikan, sejalan dengan marotibul amal bagi kita yang ujungnya adalah terciptanya sistem yang baik, yaitu sistem yang sesuai dengan kaidah-kaidah dari Allah SWT. Artinya, setelah dimulai dari penggemblengan diri menuju terbentuknya individu yang sesuai dengan harapan Allah SWT, lalu terbentuklah keluarga dari individu-individu tersebut, sehingga setiap keluarga kemudian menjadi wadah dalam proses pendidikan generasi selanjutnya yang siap men-suplay kebutuhan personal untuk menempati pos-pos penting dalam menciptakan sistem yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditentukan Allah SWT tersebut.

Terjadinya pandemi Covid-19 lalu, yang menyebabkan diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar sehingga berakibat dilaksanakannya kegiatan learn from home seharusnya menjadi pelajaran bagi kita, bahwa sekolah hanya salah satu sarana dalam proses pendidikan. Proses pendidikan sesungguhnya ada di rumah dengan guru yang multitalenta berjuluk ayah, bunda, abi, umi, papa, mama, atau sebutan lainnya.

Para guru tersebut sejatinya melakukan proses yang sistematis untuk meningkatkan kualitas dan martabat manusia secara holistik pada tiga dimensi kemanusiaan yang paling mendasar, yaitu afektif, kognitif, dan psikomotor. Dalam tataran yang lebih konkrit, para guru tersebut menanamkan pondasi yang kuat pada peserta didik seperti bagaimana mereka bersikap positif pada suatu masalah, menunjukkan emosi yang stabil, mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk maju, mempunyai etika dan norma yang positif, mempunyai kemampuan berpikir kritis, kreatifitas dalam memecahkan masalah, dan sebagainya.

Semua kemampuan tersebut (sekali lagi) seharusnya didapat dalam proses pendidikan di rumah bersama guru multitalenta tadi. Maka, ketika proses pendidikan berlangsung di sekolah sesungguhnya, upaya yang dilakukan para guru, tinggal memoles karya yang sudah mulai terbentuk oleh orangtua siswa yang notabene menjadikan guru sebagai partnernya. Sehingga, dalam proses pendidikan di sekolah, seharusnya tidak ada orangtua yang protes ketika guru mendisiplinkan siswanya, karena sejatinya guru yang dipercaya oleh orangtua dalam mendidik anaknya sebenarnya sedang manambahkan sketsa yang kaya dengan warna.

Comments are closed.