Transfer Pricing & Corporate Governance: Pengaruh Bagi Tax Ratio di Indonesia
Oleh : Siti Feliessya Najwa Mirza, Mahasiswi Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia
Transfer pricing telah menjadi salah satu isu sentral dalam kebijakan perpajakan global dan Indonesia. Istilah ini merujuk pada praktik penentuan harga transaksi antar perusahaan yang memiliki hubungan istimewa (related parties). Dalam konteks bisnis multinasional, transfer pricing sering kali digunakan untuk mengalokasikan pendapatan dan beban di berbagai yurisdiksi, sehingga memengaruhi jumlah pajak yang harus dibayarkan. Namun, apakah praktik transfer pricing ini berdampak langsung terhadap tax ratio di Indonesia. Artikel ini membahas transfer pricing, corporate governance, dan implikasinya terhadap tax ratio.
Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang menghadapi tantangan besar dalam mengoptimalkan penerimaan pajak. Tax ratio indikator yang menunjukkan rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi salah satu parameter utama untuk mengukur keberhasilan kebijakan fiskal. Selama satu dekade terakhir, tax ratio Indonesia cenderung stagnan di angka 9-11%, jauh di bawah rata-rata negara ASEAN. Salah satu penyebab rendahnya tax ratio adalah penghindaran pajak yang dilakukan melalui mekanisme transfer pricing. Untuk menangkal praktik ini pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan ketat, seperti Peraturan Menteri Keuangan No. 213/PMK.03/2016 tentang Dokumentasi Transfer Pricing. Kebijakan ini mewajibkan perusahaan multinasional untuk menyusun dokumentasi transfer pricing yang memadai, mencakup master file, local file, dan laporan per negara (Country-by-Country Report).
Selain itu pemerintah juga aktif berpartisipasi dalam inisiatif global seperti Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan yang diprakarsai oleh OECD. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan mencegah manipulasi transfer pricing yang berdampak pada erosi basis pajak. Transfer pricing secara sederhana dapat didefinisikan sebagai penentuan harga transaksi barang, jasa, atau aset tidak berwujud antara perusahaan yang memiliki hubungan istimewa. Hubungan istimewa ini bisa terjadi karena kepemilikan saham, kontrol manajerial, atau hubungan lainnya yang menciptakan potensi konflik kepentingan.
Contoh konkret dari praktik transfer pricing adalah kasus yang melibatkan Google Asia Pacific Pte Ltd. Pada 2020, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Indonesia menemukan indikasi penghindaran pajak oleh Google melalui mekanisme transfer pricing. Perusahaan ini diduga mengalihkan sebagian besar pendapatannya ke Singapura, di mana tarif pajak korporasi lebih rendah dibandingkan Indonesia. Kasus ini menyoroti bagaimana perusahaan multinasional memanfaatkan perbedaan kebijakan pajak antar negara untuk mengurangi beban pajaknya. Contoh lainnya adalah kasus transfer pricing pada perusahaan tambang batu bara di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan ini sering kali menjual batu bara kepada perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar. Akibatnya, keuntungan yang dilaporkan di Indonesia menjadi lebih kecil, sehingga pajak yang dibayarkan pun minim.
Corporate governance memainkan peran penting dalam mencegah penyalahgunaan transfer pricing. Dalam teori keagenan, hubungan antara pemilik (principal) dan manajer (agent) sering kali menimbulkan masalah keagenan, terutama dalam perusahaan multinasional. Manajer yang mengejar kepentingan pribadi atau kelompok tertentu dapat memanfaatkan transfer pricing untuk memaksimalkan keuntungan perusahaan dengan mengorbankan kepentingan negara. Good corporate governance yang mencakup transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan ketat dapat menjadi solusi untuk mengurangi praktik transfer pricing yang merugikan negara. Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mendorong perusahaan publik untuk meningkatkan kualitas tata kelola perusahaan, termasuk dalam aspek pelaporan pajak.
Praktik transfer pricing yang tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) memiliki dampak signifikan terhadap tax ratio di Indonesia. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Evita (2023), diperkirakan bahwa Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak hingga Rp 68.7 triliun per tahun akibat penghindaran pajak melalui transfer pricing. Studi lain dari OECD menunjukkan bahwa negara-negara berkembang seperti Indonesia lebih rentan terhadap dampak transfer pricing dibandingkan negara maju. Hal ini disebabkan oleh lemahnya kapasitas administrasi pajak dan kurangnya data yang memadai untuk mengawasi transaksi antar perusahaan.
Upaya pemerintah dalam memperketat regulasi transfer pricing mulai menunjukkan hasil positif. Berdasarkan laporan DJP 2022, terdapat peningkatan kepatuhan pajak dari perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia. Hal ini tecermin dari kenaikan penerimaan pajak sebesar 10% pada sektor-sektor tertentu, seperti teknologi dan energi, yang sebelumnya rentan terhadap praktik transfer pricing.
Untuk mengoptimalkan tax ratio, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan regulasi, pengawasan, dan edukasi. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:
- Penguatan Kapasitas Administrasi Pajak: Pemerintah perlu meningkatkan kompetensi DJP dalam mengawasi transaksi transfer pricing melalui pelatihan, pengembangan teknologi, dan kolaborasi internasional.
- Peningkatan Transparansi Perusahaan: Regulasi yang mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi keuangan secara lebih rinci dapat membantu mengidentifikasi potensi penghindaran pajak.
- Kolaborasi Internasional: Indonesia perlu terus berpartisipasi dalam inisiatif global, seperti pertukaran informasi otomatis (AEOI), untuk mencegah pengalihan pendapatan lintas negara.
- Peningkatan Kesadaran dan Edukasi: Masyarakat dan pemangku kepentingan perlu diedukasi mengenai dampak transfer pricing terhadap ekonomi nasional, sehingga tercipta dukungan luas untuk kebijakan yang lebih ketat.
Transfer pricing adalah tantangan besar bagi sistem perpajakan di Indonesia, terutama dalam upaya meningkatkan tax ratio. Dengan memahami mekanisme transfer pricing dan pengaruhnya terhadap penerimaan pajak, pemerintah dan pemangku kepentingan dapat merancang kebijakan yang lebih efektif untuk mengatasi masalah ini. Corporate governance yang baik juga menjadi kunci untuk mengurangi potensi
penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Langkah-langkah yang telah diambil, seperti regulasi ketat dan partisipasi dalam inisiatif global, mulai memberikan hasil positif. Akan tetapi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa praktik transfer pricing tidak merugikan kepentingan negara. Dengan sinergi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat, Indonesia dapat
meningkatkan tax ratio sekaligus menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan berkelanjutan. (sbs03)
Comments are closed.