Kanekes, SatuBanten – Mendengar nama Baduy tentunya sudah tidak asing lagi. Untuk mengunjungi lokasi Baduy yang berada di kaki Gunung Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten yang berjarak sekitar 40 kilometer dari kota Rangkasbitung kita dapat menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat.
Ada beberapa pintu masuk ke Baduy, namun yang menjadi primadona adalah Jalur Ciboleger yang merupakan gerbang utama. Selain Ciboleger, pintu masuk lainnya adalah Cijahe di selatan, Cisaban di timur serta Cicakal dan Nangerang di wilayah barat.
Untuk sampai di Ciboleger harus ditempuh perjalanan mobil selama 1 jam dari Rangkasbitung. Rasa lelah di perjalanan perlahan sirna setibanya di lokasi. Pemukiman yang masih sangat menyatu dengan alam. Area berlembah, pepohonan yang rindang, udara yang dingin membuat rasanya ingin berlama-lama di desa ini.
Wilayah Baduy memiliki topografi berbukit dengan kemiringan tanah rata-rata 45 persen. Di Baduy terdapat 68 kampung dan terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu Baduy Dalam yang terdiri dari tiga kampung yaitu Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik serta Baduy Luar yang terdiri dari 65 kampung.
Untuk mencapai area Baduy Dalam dibutuhkan waktu sekitar kurang lebih 3 – 4 jam dengan berjalan kaki dari Ciboleger. Lokasi areanya pun cukup menantang karena harus menyusuri jalan setapak perbukitan yang naik turun. Namun, pemandangan indah berupa hamparan ladang dan rumah-rumah adat Baduy yang dibangun dengan sistem panggung.
Penduduk Baduy dikenal sangat menghargai adat istiadat serta budaya mereka. Terlihat dari aktivitas sehari-hari, semua aturan budaya dan adat istiadat masih melekat dalam kehidupan warga. Selain berladang, penduduk Baduy juga berdagang serta mengisi waktu luangnya dengan bermusik atau bahkan membuat kerajinan tangan khas suku Baduy. Ini bentuk ketaatan mereka dalam mematuhi pikukuh (larangan adat) yang sudah ditetapkan oleh karuhun (leluhur) mereka.
Penduduk Baduy memiliki beragam jenis kerajinan tangan, di antaranya tas jarog dan koja, golok, tenun, dan aksesoris lain seperti gelang. Semua kerajinan tersebut nantinya akan digunakan untuk keperluan sandang ataupun dijual sebagai cendera mata kepada wisatawan atau tamu yang berkunjung.
Untuk jenis kerajinan tenun, Suku Baduy memiliki dua jenis tenun yaitu Tenun Baduy Dalam dan Tenun Baduy Luar. Masing-masing tenun tersebut memiliki ciri khas yang berbeda. Perbedaan ini dapat dilihat dari bentuk motif dan makna dari motifnya. Tenun Baduy Dalam khas dengan warna hitam atau putih yang sederhana dan lebih polos sedangkan Tenun Baduy Luar memiliki lebih banyak ragam hias.
Tenun Baduy merupakan tenun yang lebih memperhatikan citra warna dibandingkan dengan perupaannya. Karakteristik ini dapat terlihat dengan jelas dari visualnya yang konsisten dengan bentuk geometris dan garis saja. Adapun motif ragam hias tenun Baduy Dalam adalah tenun Aros sedangkan motif ragam hias tenun Baduy Luar antara lain Adu Mancung, Suat Songket, dan Poleng. Warna-warna tenun Baduy pun lebih simpel memungkinkan untuk dipadukan dengan warna atau bahan lainnya.
Untuk menyelesaikan satu potong kain tenun diperlukan waktu sedikitnya satu bulan, tergantung tingkat kesulitan motifnya. Menurut perajin tenun, Cudih salah satu warga Kampung Ciranji, satu potong kain tenun Baduy dipasarkan mulai harga Rp200.000,00 hingga jutaan rupiah tergantung tingkat kesulitannya.
“Harga bervariasi tergantung dari jenis kain dan motifnya,” ungkap wanita yang merupakan anak dari Jaro Saija.
Selain kain tenun, oleh-oleh khas Baduy yang sudah cukup terkenal yaitu Madu Hutan. Madu khas Baduy dihasilkan langsung dari sarang lebah liar di pedalaman hutan serta gula aren olahan langsung yang dibuat oleh penduduk suku Baduy. Kedua produk makanan tersebut juga termasuk kategori makanan organik tanpa menggunakan bahan kimia.
Selain itu, keunikan Rumah adat Baduy memiliki karakterisik yang khas karena dibangun mengikuti kepercayaan mereka. Rumah diberi jarak dengan tanah sebagai bentuk rasa hormat terhadap konsep buana larang, yaitu tempat orang yang sudah meninggal. Bahan atau material rumah tidak boleh terbuat dari tanah, seperti batu bata dan genteng tanah liat, karena tanah merupakan tempat tinggal orang yang sudah meninggal. Susunan rumah rumah di suku Baduy diatur sedemikian rupa sehingga semuanya berkiblat ke arah Selatan, tempat di mana Sasaka Domas atau tempat tersuci atau tempat di mana roh-roh leluhur berkumpul yang terletak di hulu Sungai Ciujung.
Selain rumah adatnya, bangunan lain yang menjadi ciri khas masyarakat Baduy adalah lumbung padi yang menyimpan hasil panen seperti padi, kacang, dan buah-buahan atau biasa disebut dengan Leuit. Selain itu, ciri khas lain dari Suku Baduy adalah alat musik yang seringkali dimainkan yaitu Kecapi, Celempung, dan Angklung Buhun.
Suku Baduy Dalam diketahui masih sangat tegas terhadap aturan yang berlaku. Mereka tidak terkontaminasi oleh teknologi modern dan perkembangan zaman. Bepergian dengan berjalan kaki dan tanpa menggunakan alas kaki. Tidak menggunakan gawai dan tidak menggunakan alat transportasi dalam bentuk apapun. Masyarakat Baduy pada dasarnya tidak mengenal sistem pendidikan formal.
Dalam sistem pemerintahan, jabatan tertinggi yang ada pada suku Baduy adalah Pu’un. Pu’un harus berasal dari penduduk Baduy Dalam. Mereka adalah orang yang menetapkan hukum dan semua hal yang terkait dengan adat mereka. Masing-masing kelompok Baduy Dalam memiliki Pu’un yang memimpin kelompoknya. Pu’un dibantu oleh jaro sebagai pelaksana harian urusan pemerintahan kapuunan. Setiap Puu’n di Baduy Dalam memiliki wewenang yang berbeda.
Pu’un Desa Cibeo memiliki tugas urusan pelayanan masyarakat Baduy, sosial kemasyarakatan, dan terkait wilayah. Tugas pemerintahan, pertanian, dan komunikasi dengan warga luar juga masuk wewenang masyarakat Cibeo. Sedangkan Pu’un Desa Cikertawana bertugas sebagai penasihat urusan keamanan, ketertiban, kesejahteraan, dan pembinaan warga Baduy. Terakhir Pu’un Desa Cikeusik bertugas soal keagamaan, pelaksanaan kalender adat, serta memutuskan hukuman bagi pelanggar adat. (***)
Comments are closed.