Jakarta, SatuBanten – Penentuan waktu awal Ramadan dan hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) bisa ditentukan melalui dua cara yaitu metode hisab (perhitungan) dan metode rukyat (pengamatan). Saat ini Indonesia telah menerapkan kriteria MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) untuk menentukan penanggalan Hijriyah. Penerapan ini juga merupakan salah satu upaya untuk unifikasi kalender Hijriyah.
Abdul Mufid, Postdoctoral pada kelompok riset Astronomi dan Observatorium di Pusat Riset Antariksa BRIN menyebutkan bahwa kriteria lama mengacu pada tinggi hilal minimal 2 derajat dan jarak sudut bulan-matahari (elongasi) minimal 3 derajat serta umur bulan minimal 8jam. Sedangkan kriteria baru tinggi hilal minimal 3 derajat dan jarak sudut bulan-matahari (elongasi) minimal 6,4 derajat, ungkapnya dalam kegiatan kolokium LINEAR #2 dengan topik Kajian Implementasi Kriteria Baru MABIMS Menuju Unifikasi Kalender Hijriah: Pendekatan Multidisipliner.
Kriteria MABIMS baru diterapkan di Indonesia pada 2023, khususnya pada penentuan awal Ramadan dan hari raya 1444 H. Unifikasi atau proses penyeragaman dalam kajian fikih memperhatikan pendapat fukaha (ahli fikih) yang terbagi menjadi 2 pandangan besar, yakni rukyat global dan rukyat lokal. Ada yang cenderung ke rukyat global (Hanafi, Maliki, dan Hambali) dan ada yang condong kepada rukyat lokal sekitar radius 120 km (Syafi’iyah).
Mufid melakukan kajian yang lebih mendalam terkait implementasi kalender Hijriyah melalui pendekatan multidisipliner (kajian fikih, kajian astronomi, dan kajian sosial-politik).
“Menurut pandangan Fikih, dari teori Thomas Kuhn, bahwa wacana hisab-rukyat dalam dunia Islam telah terjadi shifting Paradigm (pergeseran paradigma). Dulu hanya berkutat pada dalil-dalil hisab rukyat beserta interpretasinya, namun kini sudah bergeser ke arah pembahasan unifikasi kalender global. Dari pandangan fikih dimungkinkan wilayah keberlakuan kalender hijriyah bisa bersifat global, walau keberlakuan lokal masih berlaku di banyak negara yang terkait juga dengan pandangan untuk pembuktian secara rukyat (pengamatan) hilal,” ungkap Mufid.
Mufid menambahkan kajian astronomi berkontribusi pada usulan kriteria visibilitas hilal. Secara umum, untuk memprediksi visibilitas hilal, parameter berikut sering digunakan yaitu umur bulan, selisih waktu terbenam matahari dan bulan, elongasi, ARCV (beda tinggi), DAZ (beda azimut), dan tebal hilal.
Setidaknya ada tiga prasyarat untuk mewujudkan kalender yang mapan: ada kesepakatan batasan wilayah keberlakukan (nasional atau global), ada kesepakatan otoritas tunggal yang menetapkannya, dan ada kriteria yang disepakati.
Kriteria MABIMS dalam penentuan awal bulan Hijriah perlu diterima berbagai kalangan umat dengan 6 alasan yaitu kriteria MABIMS dibangun atas dasar data rukyat atau pengamatan global jangka panjang, parameter yang digunakan dalam kriteria MABIMS adalah parameter yang biasa digunakan oleh para ahli hisab Indonesia, yaitu ketinggian hilal dan elongasi (jarak sudut bulan-matahari), parameter yang digunakan menjelaskan aspek fisis rukyatul hilal.
Dalam kriteria MABIMS, ketinggian minimal 3 derajat didasarkan pada data global, elongasi minimal 6,4 derajat didasarkan pada rekor elongasi bulan terdekat sebagaimana yang dilaporkan dalam makalah Mohammad Shawkat Odeh, dan kriteria baru MABIMS yang dibangun dengan data rukyat dan dianalisis secara hisab merupakan titik temu bagi pengguna metode rukyat seperti NU dan pengguna metode hisab seperti Muhammadiyah.
Pendekatan multidisplin fikih, astronomi, dan sosial-politik, mengungkapkan bahwa unifikasi kalender hijriyah memerlukan kesepakatan tentang batas wilayah keberlakuan, kriteria, dan otoritas.
Kriteria visibilitas terbaru yang sering disebut Neo MABIMS, yakni tinggi hilal 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat, hanya salah satu prasyarat untuk terwujudkan unifikasi kalender hijriyah.
Mufid memberi pesan bahwa meskipun kriteria ini telah menjadi kesepakatan di antara negara-negara anggota MABIMS, namun dalam implementasinya perlu sosialisasi lebih keras lagi.
“Sosialisasi diperlukan untuk mendapatkan kesepakatan secara internal nasional, khususnya kesepakatan antar-ormas Islam. Untuk diperluas menjadi kalender Islam global, juga diperlukan kesepakatan secara global pula,” pungkasnya. (**)
Comments are closed.